Minggu, 24 Januari 2010

Kemiskinan di Banyuwangi;Derita di Atas Melimpahnya Hasil Bumi

Secara umum Kabupaten Banyuwangi memiliki potensi alam yang cukup besar. Mulai dari lahan pertanian, perkebunan dan kawasan pantai yang membentang luas. Banyuwangi adalah satu-satunya kabupaten di Jawa Timur (Jatim) yang memiliki tiga Kesatuan Pemangku Hutan (KPH). Artinya, daerah ini memiliki banyak lahan produktif yang bisa digarap untuk kesejahteraan penduduknya. Seperti apakah potret kemiskinan di Banyuwangi?


Di tengah tingginya potensi pertanian itu, jumlah penduduk miskin justru terus bertambah. Pertambahan ini melaju pesat ketika harga kebutuhan pokok melambung. Puncaknya, naiknya harga BBM yang mencapai dua kali lipat. Masyarakat dengan penghasilan minim kian terpuruk dengan meningkatnya harga kebutuhan pokok. Akibatnya, angka penduduk miskin kian membengkak.

Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Banyuwangi mencapai 154.000 KK atau sekitar 460.000 jiwa. Total keseluruhan penduduknya berjumlah 1,6 juta jiwa. Jika dihitung secara kasar, angka kemiskinannya masih relatif tinggi atau sekitar 28,75%. Jumlah ini begitu ironis jika dibandingkan dengan potensi yang dimiliki Banyuwangi.

Secara umum, kemiskinan di Banyuwangi dipicu oleh kondisi perekonomian nasional. Namun, lemahnya sumber daya manusia (SDM) kian memperparah angka kemiskinan itu. Penduduk miskin hampir menyebar di seluruh kecamatan dari 24 kecamatan yang ada. Akibat lemahnya SDM, angka pengangguran ikut melambung. Jumlahnya mencapai 34.000 jiwa. “Ini adalah angka pencari kerja yang sering dikatakan sebagai pengangguran,” kata pengamat ekonomi Banyuwangi Thoyib Kamino.Kendati tidak ada data pasti angka kemiskinan, Kamino menuturkan jumlah penduduk miskin di Banyuwangi masih tinggi. Salah satu indikatornya adalah lebarnya kesenjangan pendapatan masyarakat. Angka pendapatan penduduk mengalami ketimpangan yang tinggi, sehingga perbedaan KK miskin dan di atasnya makin jelas. Ironisnya lagi, penduduk miskin itu masih banyak yang tersebar di sekitar perkotaan.

Minimnya lulusan pendidikan formal juga memicu naiknya angka kemiskinan. Apalagi, angka penyerapan kerja masih relatif kecil. Jumlah pekerja yang duduk di instansi formal hanya mencapai 185.000 orang. “Ini masih perhitungan kasar,” ujar Kamino. Penghitungannya didasarkan pada usia penduduk yang masuk dalam usaha menengah.

Meski Upah Minimum Kabupaten (UMK) Banyuwangi relatif tinggi, ternyata belum bisa mendongkrak turunnya angka kemiskinan. Apalagi, daya beli masyarakat cukup dinamis. UMK Banyuwangi tahun 2007 sebesar Rp 567.500, tahun 2006 sebesar Rp 517.500. Angka ini hanyalah standar minimum dari pendapatan yang layak bagi sebuah keluarga. Fakta di lapangan, banyak penduduk yang belum mengenyam standar UMK. Pasalnya, masih banyak perusahaan yang belum bisa memberikan standar UMK kepada para buruh.

Banyaknya potensi alam yang belum tergarap juga patut disayangkan. Pengangguran di Banyuwangi cenderung mencari kerja di luar daerah ketimbang berkarier di daerahnya. Salah satunya ke Bali dan menjadi tenaga kerja ke luar negeri (TKI). Ironisnya lagi, belum ada tanggapan serius pemerintah daerah untuk menciptakan lapangan kerja di sektor riil.

Pemerintah lebih peduli pada pendidikan formal. Padahal, banyak kelompok yang layak diberi pelatihan keterampilan. Contohnya, pertukangan dan kerajinan lainnya. Banyak sentra industri kecil yang berjalan sendiri, sehingga proses penyerapan tenaga kerja ikut lamban. “Wajar jika pengangguran memilih hengkang ke luar daerah, karena di sini usaha tidak menjajikan,” sambung Ketua Dewan Pengupahan Banyuwangi ini.

Melimpahnya hasil alam Banyuwangi berpotensi mendatangkan investor. Sayangnya, banyak investor enggan berinvestasi karena proses birokrasi yang panjang. Iklim investasi masih belum menjanjikan. Mereka yang ingin membuka usaha harus terbentur dengan panjangnya proses perizinan. Belum lagi, kondisi politik yang terus memanas. Pemegang kebijakan belum optimal untuk menggarap sektor riil. Yang ada hanya penekanan pembangunan infrastruktur. Kendati baik, kebijakan ini harus ditambah pada sektor riil di masyarakat.

Daya beli masyarakat Banyuwangi yang tinggi membuktikan peluang ekonomi yang bagus. Ditambah lagi potensi budaya masyarakatnya yang dinamis. “Peluang usaha sangat besar. Hanya iklim usaha perlu ditata lagi,” usul dekan fakultas ekonomi salah satu universitas di Banyuwangi ini.

Masyarakat perlu diajari membuka usaha dengan memanfaatkan potensi yang ada. Selama ini, mereka hanya berjalan sendiri-sendiri. Bahkan, di kantong-kantong kerajinan sekali pun. Akibatnya, persaingan usaha kian kencang. Para perajin saling berebut pasar untuk usaha sendiri. “Kalau ada pembinaan, mereka bisa mandiri. Angka pengangguran bisa ditekan,” pungkas Kamino.

Sementara untuk sektor pertanian, belum ada kepedulian menyatukan keinginan petani. Nasib mereka terus saja terpuruk. Banyuwangi yang menjadi lumbung padinya Jawa Timur tetap saja kebingungan menghadapi mahalnya harga beras. Masyarakat masih kelimpungan ketika harga beras naik tajam. Kaum miskin yang terjepit hanya bisa gigit jari. Sejak naiknya harga beras, potensi melonjaknya angka kemiskinan sangat tinggi. Masalahnya, UMK yang dipatok hanya cukup untuk kehidupan standar ketika harga kebutuhan pokok masih normal. Ketika harga naik, UMK dipastikan tidak bisa mencukupi kebutuhan secara optimal.

Mayoritas Tamatan SD

Meskipun memiliki angka pasti, data kemiskinan di Kabupaten Banyuwangi masih lemah. Pasalnya, data itu diambil hanya pada tingkat kabupaten. Data real tidak sampai menyasar hingga ke tingkat kecamatan. Proses pengambilannya pun hanya menggunakan sampel. Kendati demikian, data itu diyakini memiliki bukti valid.

“Data kongkret hingga ke tingkat desa dan kecamatan tidak bisa didapat. Survai hanya pada tingkat kabupaten,” kata Kasi Statistik Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Banyuwangi Benny Koeshariyadi. Proses pendataan keluarga miskin dilakukan dengan dua cara, Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Pendataan Survai Ekonomi (PSE). Metode Susenas menggunakan acua standar kalori yang dikonsumsi sebuah keluarga, PSE menggunakan sistem kuisioner terdiri atas 14 pertanyaan. Data inilah yang digunakan acuan pemberian subsidi langsung tunai (BLT) beberapa waktu lalu.

Angka kemiskinan dipengaruhi minimnya tamatan pendidikan formal. Data tahun 2006 lalu, penduduk Banyuwangi masih didominasi lulusan SD/MI yang mencapai 33,93%. Lulusan SMP/sederajat 17,09%, SMA 9,37%, SMK 5,15% dan Perguruan Tinggi hanya 1,56%. Sisanya, banyak yang belum tamat atau tidak pernah mengenyam pendidikan formal.

Jumlah pengangguran juga tetap tinggi sekitar 9,93%, sedangkan yang bekerja 90,07%. Klasifikasi bekerja ini tidak semuanya memiliki pekerjaan. Mereka yang masuk dalam kategori bekerja adalah yang sedang bekerja atau sementara tidak bekerja. Artinya, tidak semua pekerja melakukan pekerjaan. Begitu juga dengan pengangguran. Klasifikasi pengangguran meliputi, pencari kerja, mempersiapkan usaha, tidak mungkin bekerja dan memiliki pekerjaan tetapi belum bekerja.

Keseluruhan data ini berpengaruh kuat terhadap angka kemiskinan. Grafik kemiskinan di Banyuwangi cenderung dinamis. Tahun 2004 mencapai 17,08%, tahun 2005 naik menjadi 22,79% dan 2006 turun 16,06%. Angka ini adalah hasil survai metode Susenas.

Jumlah penduduk miskin tersebar di 24 kecamatan. Klasifikasinya dibagi dalam tiga kategori, hampir miskin, miskin, dan sangat miskin. Total keseluruhan mencapai 157.347 KK. Rinciannya, hampir miskin 64.649 KK, miskin 65.451 KK dan sangat miskin 27.247 KK. Kecamatan Rogojampi paling banyak penduduk miskin yang mencapai 13.521 KK. Ironisnya lagi, Kecamatan Kota Banyuwangi juga tergolong tinggi dengan 7.798 KK. Daerah dengan penduduk miskin ini memiliki angka pengangguran yang tinggi.

Kendati memiliki lahan pertanian yang luas, penduduk setempat hanya menggantungkan hidupnya sebagai buruh tani. Siasanya, memilih hengkang ke luar daerah seperti Bali dan Surabaya. Mereka yang sedikit nekat akan pergi menjadi TKI. * (budi wiriyanto)


Sumber :
http://kangirwan.wordpress.com/2008/08/25/kemiskinan-di-banyuwangiderita-di-atas-melimpahnya-hasil-bumi/
25 Agustus 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar